[Cerpen] Luka Hati Rahma




“Bisakah sebuah cinta kadaluarsa?” Tanyaku pada suamiku. Sosoknya yang tinggi besar kini sedang duduk di sampingku. Tangannya merangkul bahu ringkihku sementara aku menyandarkan kepalaku di bahunya. Kami berdua sedang duduk disalah satu sofa di ruang tamu rumah kontrakan mungil kami. Putri kecil kami sudah terlelap di kamarnya sejak satu jam yang lalu.

“Tentu saja bisa, Rahma. Bukankah cinta itu layaknya tanaman?” kata mas Ilham sambil membelai kepalaku.

Air mataku menetes dalam diam. “Tapi bukankah Mama sudah berusaha merawat cinta itu dengan baik? Lalu kenapa cinta itu tetap mati?” tanyaku lagi. Kali ini aku tak bisa menyembunyikan emosi dalam pertanyaanku.

Untuk sesaat, suamiku tak memberi jawaban. Ia hanya membelai rambutku. “Kadang kita harus pasrah pada rencana Allah, Rahma,” kata suamiku akhirnya.

***
Kabar rencana perceraian Mama dan Abah sampai di telingaku pagi ini. Rhea, adik bungsuku mengabarkannya dalam sebuah percakapan telepon. Sebuah kabar yang ternyata sudah cukup lama ditutupi oleh Mama, Abah dan Rhea. Aku tentu saja marah besar pada Rhea. Bagaimana mungkin dia merahasiakan masalah keluarga pada kakak sulungnya?

Mama dan Abah sudah menikah hampir tiga puluh tahun. Mereka dikaruniai tiga orang anak yang kini sudah menjalani kehidupan mereka masing-masing. Aku yang sulung kini menikah dan tinggal bersama suamiku di Jakarta. Lalu ada Radit yang kini bekerja di Surabaya. Sedang si bungsu Rhea masih kuliah dan tinggal bersama kedua orang tuaku di kota Banjarmasin. Selama hampir tiga puluh tahun menikah, tentu saja pernikahan mereka mengalami pasang surut. Namun satu hal yang kuketahui dari pernikahan orang tuaku adalah bagaimana Mama mencurahkan seluruh cintanya pada Abah dan putra putrinya.

“Tapi kenapa, Rhea?” tanyaku pada adik bungsuku itu. Untungnya Rhea menghubungiku saat Disya sudah berangkat sekolah. Ini membuatku bisa berbicara dengannya tanpa perlu diinterupsi oleh Disya yang minta ditemani ini dan itu.

“Abah ingin menikah lagi,” jawab Rhea setelah diam selama beberapa detik.

Aku pun terdiam mendengar jawabannya.

***

Cinta lama yang datang kembali. Itulah alasan Abah ingin menikah lagi dan menjadi alasan Mama untuk bercerai. Rhea bercerita padaku selama hampir satu jam dalam percakapan telepon kami. Seorang wanita dari masa lalu Abah muncul lagi dalam kehidupan mereka. Sosoknya yang kini hidup sendiri tanpa suami dan anak menumbuhkan kembali rasa cinta Abah yang sempat terkubur.

Di antara semua anaknya, hanya aku yang mengetahui sosok wanita ini. Mamalah yang bercerita padaku. Saat itu, aku yang masih berusia dua belas tahun menjadi saksi pertengkaran hebat kedua orang tuaku. Mama yang biasanya sangat memperhatikan kami mendadak mogok melakukan semua pekerjaan dan mengurung diri di kamarnya selama berhari-hari. Rupanya saat itu Abah sempat bertemu kembali dengan wanita itu karena sebuah reuni dan Mama mengetahuinya.

Belakangan, saat kondisi hatinya sudah mulai tenang Mama bercerita padaku tentang sosok wanita yang selalu membuat dirinya cemburu. Mungkin kala itu aku dianggap sudah cukup besar untuk mengerti masalah percintaan.

“Kau tahu, Rahma? Mama tak pernah cemburu pada wanita manapun yang mendekati Abahmu. Kecuali wanita itu,” begitu kata Mama padaku kala itu.

***

Pagi ini aku berkemas. Setelah berdiskusi dan menangis semalaman Mas Ilham akhir setuju dengan keinginanku untuk pulang ke Banjarmasin. Tak mungkin aku bisa tenang saja berada di rumah sementara di seberang pulau sana Mamaku harus menjalani kesedihannya sendirian.

Mas Ilham sendiri memilih cuti selama beberapa hari dari kantor agar bisa mengurus putri kami yang masih berusia empat tahun. Kami berdua sepakat agar Disya tak perlu diajak untuk urusan seperti ini.

Rumah tampak sepi saat aku tiba. Penerbangan pagi yang kupilih membuatku tiba saat penghuni rumah sMamak dengan kegiatan mereka masing-masing. Rhea masih berada di kampus dan Mama masih berada di toko pakaian yang dikelolanya sejak lima tahun yang lalu. Lalu Abah? Entahlah. Kata Rhea, sudah beberapa hari terakhir Abah memilih tidur di rumah adiknya. Kuharap ini dilakukan Abah untuk menjernihkan pikirannya.

Aku mendekati sebuah pot yang berada di dekat pintu. Sejak dulu Mama selalu meletakkan kunci rumah di bawah pot tersebut. Kerap kami memprotes kebiasaannya itu. Namun Mama tetap bergeming dengan kebiasaannya itu.

Terakhir kali aku berkunjung ke rumah ini adalah tahun lalu saat lebaran tiba. Tak banyak yang berubah dari rumah ini sejak kedatanganku yang terakhir. Mama memang bukan tipe yang suka mengubah posisi barang-barang di rumah. Berbeda denganku yang cepat bosan dan sangat suka bereksperimen dengan berbagai perabot di rumah.

Aku meletakkan barang-barang di kamarku yang dulu. Hanya ada sebuah tempat tidur, sebuah lemari dan meja rias di kamar ini. Setelah menikah, Mama secara rutin membersihkan kamarku. Sesekali juga beberapa anggota keluarga menginap di kamar ini. Aku merebahkan diri sambil menatap langit-langit kamarku.

***
“Kenapa tidak bilang dulu kalau mau pulang?” Tanya Mama padaku. Di hadapan kami sudah tersedia semangkuk sayur asam banjar dengan ikan peda bakar dan sambal terasi. Begitu tahu aku sudah berada di rumah, Mama langsung pulang dari tokonya dan menyiapkan menu makan siang kesukaanku.

Kuperhatikan wajah Mama. Wanita berusia lima puluh lima tahun itu kini terlihat layu. Kantung matanya tampak menggantung dan tak seperti biasanya, Mamaku tak mengenakan lipstik yang setia dikenakannya selama puluhan tahun.

“Aku mau menemani, Mama,” jawabku pendek. Besok adalah sidang perdana perceraian Mama dan Abahku. Itulah alasan utama aku pulang hari ini. Aku ingin menemani Mama dalam menghadapi salah satu hari terberat dalam hidupnya. 
Mama hanya terdiam mendengar jawabanku. Aku kemudian menggenggam tangannya. Tangan yang biasanya hangat itu kini terasa dingin. 

***
Saat diriku masih kecil, Abah kerap mengajakku ke jembatan di dekat Pasar Sudimampir. Kami akan berangkat dari rumah jelang magrib tiba, kemudian memarkir motor tepat di bawah jembatan. Kami kemudian berdiri di antara para pemancing yang sering kami temui di pinggir jembatan. Saat matahari mulai tenggelam, kami pun sama-sama terdiam menyaksikan keindahannya. Sesudahnya, Abah akan mengajakku untuk salat Magrib di mesjid yang terletak tak jauh dari jembatan.

Itulah kenangan terdalamku akan Abah. Abah tak jauh berbeda dengan ayah-ayah lainnya. Usianya mendekati enam puluh dengan rambut yang sudah mulai ditutupi uban. Badannya yang tinggi tegap membuatnya terlihat sepuluh tahun lebih muda dari usia sebenarnya. Layaknya putri-putri lainnya, Abah adalah sosok cinta pertama bagiku.

“Kenapa ini harus terjadi, Bah?” tanyaku pada Abah sambil memandang ke arah bangunan yang tersisa di tepian sungai Martapura. Sore ini sepertin belasan tahun yang lalu aku menikmati senja hari bersama Abah. Jika dulu kami menikmatinya dari atas jembatan, maka kali ini kami menikmatinya di salah satu warung yang berjejer di siring Sungai Martapura. 

Banyak perubahan terjadi selama belasan tahun ini. Rumah-rumah kayu yang menghiasi tepian sungai Martapura kini sudah berubah menjadi siring beton. Beberapa rumah lainnya mungkin hanya tinggal menunggu waktu untuk beralih fungsi. Pemerintah kota rupanya benar-benar serius dalam melakukan perubahan akan kota kelahiranku ini. Kadang aku merasa ada yang hilang saat menatap rumah-rumah yang hilang tersebut. Meski begitu, setidaknya kini kami bisa menikmati indahnya matahari terbenam dari tempat ini.

“Mungkin ini memang sudah takdir,” jawab Abah.

“Wanita itu, apakah dia lebih baik dari Mama?” tanyaku lagi.Sulit bagiku membayangkan ada wanita lain yang bisa mengurus Abah lebih baik dari Mama. Mama bahkan menjadi contoh pertama bagiku dalam mendidik dan merawat Disya. Bagaimana cara Mama berbicara padaku. Bagaimana Mama mengajariku bertanggung jawab dan ratusan pelajaran lainnya. Bisa dibilang semuanya kutiru habis. 

“Ini bukan masalah siapa yang lebih baik, Rahma. Setelah puluhan tahun, Abah merasa diberi kesempatan untuk mewujudkan cinta yang tak sempat diraih.”

Aku terhenyak. Mendadak aku teringat akan pertanyaanku pada Mas Ilham. Kurasa kali ini suamiku itu salah. Buktinya setelah bertahun-tahun Abah masih menyimpan cinta pada wanita itu. Ah, Abah. Begitu pentingkah bagimu untuk mengejar cinta pertamamu?

***

“Mama sudah siap untuk besok?” tanyaku pada Mama yang sedang melipat beberapa pakaian di ruang keluarga kami. Rhea langsung pamit ke kamarnya sesaat setelah kami selesai makan malam. Kurasa dia mengerti kalau saat ini aku sedang ingin menghabiskan waktu bersama Mama.

“Insya Allah,” jawab Mama tanpa menghentikan kegiatannya. 

“Apakah saat ini Mama membenci Abah?” 

“Entahlah. Kalau dipikir-pikir mungkin ini juga salah Mama. Mama terlalu sibuk dengan usaha toko pakaian itu dan melupakan abahmu,” jawab Mamaku lagi. 

Aku menghela nafas. Setelah aku menikah dan Radit yang diterima bekerja di luar kota, Mama mendadak merasa kesepian di rumah. Apalagi Abah juga tetap sibuk dengan berbagai kegiatannya meski sudah lama pensiun. Ia kemudian meminta izin pada Abah untuk membuka toko pakaian di pasar langganannya. Saat itu, Abah tak keberatan dengan permintaan Mamaku. Siapa sangka saat ini Mama malah menyalahkan dirinya sendiri atas keputusannya itu?
 
“Setelah ini, apakah aku masih bisa menjadi anakmu?” tanyaku lagi setelah terdiam cukup lama. Hal yang paling menyakitkan dari perceraian ini adalah kenyataan kalau aku bukan putri kandung Mama. Aku adalah anak dari istri pertama Abah yang meninggal dua tahun setelah melahirkanku. 

Mamaku tersenyum. “Sampai kapanpun kau akan tetap menjadi putri sulungku, Rahma,”  katanya sambil menyentuh kepalaku. 

***





13 Comments

  1. Perceraian orang tua selalu menjadi luka di hati anak tp hidup memang begitu. Ada takdir yg tak bisa kita kendalikan

    ReplyDelete
  2. mbakkk aku bacanya kok konfliknya jadi berlapis ya.. rahma yang ternyata buka anak kandung mbak keren lhoooo bisa bkin cerita yang g mudah ditebak gini.

    ReplyDelete
  3. Ah.. Sedih kali. Masa lalu yang tak selesai emang kerap menjelma menjadi baru sandungan. Sebenarnya tergantung pada pribadi masing-masing ya. Mau menyelesaikannya dengan baik atau malah berpikir itu adalah sebuah jalan yang diberi Tuhan untuk melanjutkan kisah.

    ReplyDelete
  4. Ceritanya nggak mainstream dan tidak mudah ditebak. Keren mbak kreatif, meski cerita pendek tapi menjadi hiburan yang menarik.

    ReplyDelete
  5. Imajinasinya keren bngt cerita mengalir begitu saja jadi kita seperti msuk ke dalam cerita keluarga rahma dimana abah ternyata begitu mengingat cinta dimasa lalu tapi yg aku lihat mamanya rahma terlalu iklas menerima harusnya biar lebih seru ada konflik lainnya mba hehheh

    ReplyDelete
  6. Masa lalu yang belum usai jadi penyebab perceraian dan memberi luka bagi anak. Kisah Rahma terkadang kita jumpai di kehidupan nyata. Menerima dan ikhlas menjadi sesuatu yang harus di jalani.

    ReplyDelete
  7. Nama adiknya Rahma sama kayak nama anakku Mba, Rhea, hehe

    Ngomongin pernikahan memang selalu pilu ya mba, tapi orang yang udah nggak bisa bareng memang lebih baik pisah daripada bersama tapi terus saling menyakiti. Huhu... Bagus Mba cerpennya.

    ReplyDelete
  8. Entah kenapa ya perempuan cenderung menyalahkan diri sendiri ketika menghadapi perceraian. Apalagi jika perceraiannya karena si pria jatuh cinta dengan orang lain. Kadang geram gemes gitu. Hehehe.

    ReplyDelete
  9. Bagus banget ceritanya kak, ini beneran cerpen kan? bukan kisah nyata atau kisah pribadi?

    ReplyDelete
  10. Ya, Alloh endingnya bikin terharu.
    Selalu suka dengan cerpen-cerpen Mbak Antung.
    Mau stalking cerita-cerita lainnya di blog ini.

    ReplyDelete
  11. Haru banget kisahnya Mbak, apalagi kisah endingnya. Duhhh cerita perceraian ini kalau nyata terjadi benar2 kuat dan tangguh orang2ny Mbak. Aku suka baca ceritanya nih...

    ReplyDelete
  12. Jadi terharu baca cerpennya, apalagi akibat perceraian huhu

    ReplyDelete
  13. Selalu menikmati membaca cerpen, meskipun memilih judul2 yang disukai

    ReplyDelete
Previous Post Next Post