Saat mengunjungi sebuah kota atau daerah baru, tak jarang kita akan mengalami apa yang sering disebut dengan culture shock terkait kebiasaan, bahasa dan bahkan mungkin cuaca dan makanan di daerah tersebut. Apalagi Indonesia adalah negara kelakuan dengan berbagai suku, agama dan juga budaya. Pastinya setiap daerah memiliki kebiasaan dan budayanya masing-masing.
Saya sendiri baru pernah menginjakkan kaki di beberapa kota di Indonesia. Salah satu kota yang pernah saya tinggal adalah Bandung di mana pertama kalinya saya mengalami culture shock oleh dinginnya Bumi Parahyangan. Maklumlah ya, saya kan berasal dari pulau Kalimantan yang notabene dekat dengan garis khatulistiwa yang membuat setiap orang yang datang ke kota saya akan selalu berkata, "Banjarmasin panas, ya."
Tak hanya Bandung, saya juga pernah singgah di Jakarta selama beberapa hari dan cukup shock saat menyadari kalau para pekerja di Jakarta itu rumahnya bisa di Bogor yang beda provinsi dan untuk berangkat kerja harus dari subuh dan kalau janjian tidak bisa dadakan karena macet. Entah ya, kalau sekarang dengan adanya berbagai jalur transportasi massal apakah kini seseorang bisa mengatur pertemuan dengan tiba-tiba atau harus dari hari sebelumnya.
Culture shock yang mungkin akan kamu temui jika Banjarmasin
Banjarmasin merupakan salah satu kota di provinsi Kalimantan Selatan yang dulunya adalah ibukota provinsi yang kini beralih menjadi kota industri dan perdagangan. Sebagai kota industri dan perdagangan, di kota ini tentunya ada juga penduduk yang berasal dari luar daerah entah itu karena pekerjaan atau karena pernikahan. Nah, belakangan di aplikasi tiktok saya menemukan berbagai konten tentang orang luar Kalimantan yang mengalami cunture shock saat berada di Kalimantan salah satunya kota kelahiran saya ini yakni Banjarmasin. Nah, kira-kira apa saja hal yang akan membuat pendatang shock saat berada di Banjarmasin, berikut yang bisa saya rangkumkan:
Banjarmasin kota yang panas
Begitu menginjakkan kaki di kota Banjarmasin, mungkin salah satu hal yang langsung terasa dari kota Banjarmasin adalah panasnya kota ini. Bahkan ada video di Tiktok yang menggambarkan kalau matahari di Banjarmasin itu ada 10 saking panasnya. Saya sendiri sebagai orang yang lahir dan tinggal di Banjarmasin sebenarnya sudah terbiasa dengan panasnya kota ini, makanya agak heran kalau orang bilang Banjarmasin itu panas.
Namun setelah dipikir-pikir komentar tersebut benar adanya. Apalagi kalau dibandingkan jika saat saya ke Pulau Jawa terakhir kali, memang panas yang saya rasakan di Pulau Jawa rasanya cuma sekian persen dibanding di kota sendiri. Kalau di Banjarmasin itu jujur panasnya langsung menusuk di kepala dan bikin muka terasa terbakar apalagi kalau jarang memakai sunscreen. Jadi, buat kamu yang mau ke Banjarmasin terutama di musim kemarau, pastikan memakai topi dan sunscreen, ya!
Rumah dibangun di atas rawa
Culture shock berikutnya yang mungkin akan ditemukan saat berada di Banjarmasin adalah rumah yang pondasinya berada di atas rawa atau air. Jadi alih-alih berdiri di atas tanah padat, rumah penduduk di Banjarmasin rata-rata berada di atas rawa yang masih ada airnya dengan pondasi tiang ulin yang mana membuat biaya pembuatan rumah di Banjarmasin itu agak mahal di pondasinya.
Adanya rumah yang dibangun di atas rawa ini disebabkan oleh stuktur tanah di Banjarmasin yang memang tanah rawa yang notabene lembek. Nah, jika Kamu pernah membaca berita ada rumah yang ambruk atau amblas di Banjarmasin, maka biasanya itu disebabkan karena pondasi tiangnya yang kurang kuat sehingga lama-lama rumah jadi turun dan akhirnya amblas ke tanah. Selain itu, dengan kondisi tanah rawa ini, maka tak heran juga kalau kadang orang akan bertemu dengan biawak di tengah jalan bahkan ada yang sampai masuk rumah.
Klakson jarang berbunyi
Hal ini sebenarnya juga baru saya sadari ketika menonton video di Tiktok di mana katanya di Banjarmasin itu mereka jarang sekali mendengar suara klakson di jalan raya bahkan saat macet sekalipun. Bahkan ada yang bilang kalau membunyikan klakson adalah hal yang terlarang di Banjarmasin. Hal ini dibuktikan dengan sebuah video ketika acara haul Guru Sekumpul usai, ada ribuan motor yang harus antri di jalan namun tak ada satupun yang membunyikan klakson.
"Lalu apa dong fungsi klakson di Banjarmasin?" mungkin muncul pertanyaan demikian. Nah, kalau berdasarkan kebiasaan di sini, klakson biasanya digunakan oleh penjual sayur kepada pelanggannya di komplek dan juga jika berpapasan dengan teman di jalan raya atau kalau sudah kepepet dibunyikan ketika lampu hijau sudah menyala namun motor di depan tidak kunjung beranjak.
Penjual pentol di mana-mana dan belinya langsung ditusuk
Pentol merupakan sebutan untuk bakso yang dijual berkeliling yang biasanya disajikan dengan saos tomat. Di Banjarmasin, penjual pentol ini ada banyak sekali dan bisa ditemukan di mana saja. Mereka biasa mangkal di masjid saat Jum'atan, di depan sekolah dan pastinya juga di pasar. Bahkan bisa dibilang pentol adalah jenis usaha yang pasti ada pembelinya di kota Banjarmasin ini.
Nah, biasanya hal yang membuat pendatang shock saat membeli pentol adalah cara memakannya yang langsung dimakan di tempat sambil berdiri dan bahkan pembeli menghitung sendiri jumlah pentol yang dimakannya. Jadi memang di tempat pentol disajikan itu disediakan tusuk sate untuk mencucuk pentol. Mereka yang ingin membeli tinggal mengambil tusuk sate tersebut dan bisa langsung mengambil pentol baik satu persatu atau bisa mencucuk beberapa sekaligus. Setelah selesai makan pentol, pembeli tinggal menyebutkan berapa buah pentol yang dimakan dan melakukan pembayaran.
Transaksi jual beli ada akad tukar-jual
Dalam ajaran agama Islam, setiap transaksi jual beli ataupun hutang piutang harus selalu menggunakan akad sebagai salah satu syarat sahnya. Nah, dalam kebiasaan orang Banjar, akad jual beli ini hadir dalam 2 kata singkat yakni "Tukar" dan "Jual." Jadi jika ada seseorang yang berbelanja ke warung atau supermarket, setelah pembayaran dilakukan ia akan menyebutkan kata "Tukar" atau "Tukarlah" kepada penjual dan dibalas oleh penjual dengan kata, "Jual." Akad ini bisa dilakukan dalam jual beli langsung atau mereka yang melakukan transaksi secara online atau menggunakan pembayaran online.
Lucunya, karena kata "tukar" dalam bahasa Indonesia artinya mengganti barang atau benda dengan yang lain, sementara dalam Bahasa Banjar kata "tukar" ini artinya adalah beli, jadi bisa jadi terjadi salah paham ketika misalnya penjual atau lawan bicara bukan orang Banjar dan tidak mengerti dengan akad tukar-jual ini.
Saya sendiri juga pernah mengalami kejadian lucu dengan teman kuliah saat masih kuliah dulu yang mana teman kuliah ini berasal dari Kalimantan Timur. Jadi dalam sebuah percakapan teman saya ini mengucapkan kalimat kira-kira seperti ini, "Tung aku tukar, ya?" dan saya secara otomatis langsung menjawab, "Ya, jual," padahal tukar yang dia maksud adalah dia ingin menukar barang yang diambilnya bukan mau berbelanja. Hehe.
Tidak ada standar minimal untuk amplop resepsi pernikahan
Saat datang ke acara pernikahan, umumnya jika tak membawa kado minimal kita akan memberi amplop kepada keluarga atau mempelai. Jika di resepsi Jawa biasanya amplop ini diberi nama dan bahkan dibuka dan dicatat nominalnya, maka jika kamu datang ke resepsi pernikahan Banjar, amplop yang diberikan ini tidak ada angka nominal dan bahkan tidak diberi nama. Kalau beruntung mungkin pengantin akan mendapat amplop dengan isi seratus ribu namun kalau apes malah mungkin cuma 5 ribu atau bahkan amplop kosong.
Itulah dia beberapa culture shock yang mungkin akan ditemukan saat berkunjung ke kota Banjarmasin. Kalau teman-teman, apa nih kira-kira culture shock yang mungkin akan ditemukan jika ada pendatang yang ke kota kalian?






0 Comments