Luka dan Ketakutan dalam Diri

 

Pixabay

Saya memiliki kebiasaan yang cukup buruk saat marah. Jika emosi sudah mulai menguasai hati dan pikiran, maka saya tidak akan segan-segan melempar atau membanting barang-barang yang ada di sekitar saya. Entah itu pintu, handphone, hingga mainan anak. Bagaimana dengan piring dan gelas? Untungnya saya masih cukup waras untuk tidak membanting barang pecah belah tersebut saat sedang marah. Hehe.

Kebiasaan marah yang kadang meledak-ledak ini jelas merugikan bayi saya. Apalagi saya juga sekarang sudah memiliki 2 orang anak. Efek langsung yang bisa saya lihat, anak perempuan saya sekarang kalau marah juga meniru gaya saya. Hiks. Nyess banget rasanya tiap kali melihatnya yang masih berusia 4 tahun sudah mulai bisa teriak-teriak saat marah. 

Kalau melihat anak saya membuat saya bercermin pada diri saya sendiri. Apakah saya juga meniru gaya ibu saya saat marah? Apakah pola yang saya lakukan sebagai akibat dari inner child yang ada dalam diri saya? Di masa kami kecil ibu saya memang termasuk tipe ibu pemarah yang bahkan tidak sungkan memukul dan mencubit anaknya di saat melakukan kesalahan. Ibu saya merupakan produk pengasuhan zaman dulu yang menganggap kalau kekerasan akan bisa membantu membuat anak lebih disiplin.


Luka di masa lalu

Di masa kecil kita dahulu, kadang ada perlakuan orang tua yang menimbulkan trauma atau luka batin bagi seorang anak. Entah itu mendapat kekerasan fisik, dimarahi terus-terusan, dibanding-bandingkan dan juga beberapa bentuk pengabaian yang tanpa sengaja dilakukan orang tua pada kita. 

Orang tua kita sendiri mungkin tak tahu kalau apa yang mereka lakukan akan berdampak pada emosi anaknya di masa mendatang, salah satunya adalah mengulang perilaku yang dialami tersebut kepada anak sendiri seperti yang saya lakukan. 

Tentunya saya tidak ingin terus-terusan menjadi orang tua yang pemarah apalagi sampai melakukan kekerasan kepada anak. Saya ingin bisa membesarkan anak dengan bahagia dan juga membuat anak merasa bahagia berada dalam pengasuhan saya. Karena itulah sejak memiliki anak saya mulai membeli buku bertema parenting untuk membantu saya menjadi ibu yang lebih baik. 

Dalam webinar episode 2 Ruang Pulih dengan tema Bangkit dari Luka yang saya ikuti beberapa minggu lalu, Coach Prasetya M. Brata menyebutkan kalau manusia terlahir dengan sebagai pemimpin, terutama untuk dirinya sendiri. Karena itulah sebenarnya manusia memiliki kemampuan untuk memberi makna dan memilih apakah dikuasai oleh pikiran atau dirinya yang menguasai pikiran tersebut. 

Salah satu contoh sederhana tentang dikuasai pikiran ini adalah saat kita mencoba sebuah menu baru di tempat yang kita kunjungi. Coach Prasetya menceritakan tentang salah satu masakan yang beliau coba di sebuah kota di luar negeri yang katanya mirip dengan masakan Padang. Setelah makanan tiba di meja dan dicicipi, Coach Prasetya kecewa karena rasanya jauh sekali dengan yang beliau bayangkan. 

Kekecewaan akan rasa masakan yang kita makan ini merupakan salah satu contoh bagaimana kadang kita masih dikuasai oleh pikiran dan pengalaman di masa lalu. Untuk bisa mengatasi kekecewaan seperti ini, hal yang bisa dilakukan adalah mengosongkan pikiran dan menghilangkan pengalaman di masa lalu kemudian membiarkan panca indera kita merasakan kembali masakan yang ada di depan kita sehingga kita bisa menikmatinya sebagai makanan yang enak. 

Analogi dari rasa makanan ini juga bisa kita berlakukan pada luka yang ada pada diri kita. Luka yang dialami di masa dewasa sendiri hadir karena kita terus menyimpan luka di masa lalu.

Bangkit dari luka

Tentunya bukan hal yang mudah untuk bisa bangkit dari luka, terutama luka batin yang dialami di masa kecil. Saya pribadi kadang masih teringat bagaimana pernah menangis tersedu-sedu setelah dimarahi ibu saya saat remaja dulu. Sebuah pengalaman pahit yang mungkin akan selalu saya ingat dalam hidup saya dan membuat saya selalu berkata "tidak ingin menjadi orang tua seperti ibu saya."
 
Uniknya, dalam webinar hari itu, saya mendapat sudut pandang baru dari Coach Fena Wijaya yang mengajak para peserta untuk melepaskan luka dan ketakutan kita. Contoh sederhana adalah ketika kita seseorang dibesarkan oleh ayah yang kerap memukul ibunya, maka alam bawah sadarnya menganggap suami memukul istri itu hal biasa. Pada akhirnya si anak yang dibesarkan oleh orang tua seperti ini bisa jadi akan menjalani pola pernikahan yang sama dengan orang tuanya. 
 
Contoh lainnya saat kita dibesarkan oleh ibu yang pemarah sehingga ketika dewasa kita takut akan menjadi sosok ibu yang pemarah juga dan bertekad untuk tidak mengulangi apa yang dilakukan ibu kepada kita. Kenyataannya, orang-orang malah melihat kita tak jauh berbeda dengan sosok ibu yang kita hindari, yakni ibu pemarah yang tidak bisa menahan emosinya kepada anak seperti yang saya alami saat ini.
 
Untuk bisa memutus pola ketakutan ini, salah satu hal yang bisa dilakukan adalah menghadirkan energi dan afirmasi positif dalam diri kita. Alih-alih berkata "Saya tidak ingin menjalani pernikahan yang terdapat kekerasan di dalamnya," maka gantilah dengan kata-kata, "Saya ingin menjalani pernikahan yang bahagia." Alih-alih bertekad, "Saya tidak ingin jadi ibu pemarah," maka bisa diganti dengan, "Saya ingin jadi ibu yang sabar.". Dengan demikian, maka energi positif yang dihasilkan dari kata-kata tersebut bisa membantu kita dalam mengatasi trauma akibat luka di masa kecil.
 
Demikian sedikit sharing yang bisa saya bagikan dari parade Webinar Ruang Pulih yang saya ikuti beberapa waktu lalu. Buat teman-teman yang ingin menonton acara lengkapnya bisa mampir ke akun youtube Ruang Pulih dan mari kita bersama-sama belajar untuk bangkit dari luka masa kecil dan menyembuhkan diri.






 
 
 







23 Comments

  1. Kita Boleh Terluka, lalu jangan sampai luka itu nantinya juga akan Melukai orang lain 🤗🥳

    ReplyDelete
  2. betul banget kak, baru beberapa bulan ini aku bisa menghilangkan luka-luka masa lalu yang akhirnya bisa aku terima. meski belum semuanya.
    aku juga dibesarin sama sosok ibu yang pemarah, dan baru kemarin aku berusaha untuk akhirnya menerima sikapnya, termasuk nahan emosi supaya gak teriak di depan beliau itu bukan hal yang mudah kak.

    ReplyDelete
  3. Dalam proses memperbaiki diri. Agar luka lama tak melukai orang baru dalam kehidupan baru Kita.

    ReplyDelete
  4. afirmasi positif memang perlu diterapkan ya, kadang kalau pas galau aja pikiran udah kemana mana
    malah kadang overthinking jadinya

    ReplyDelete
  5. Menyembuhkan luka dan mengurangi rasa takut dalam diri itu sangat perlu sekali. Tiap kita pasti merasakan semuanya yang terpenting tidak berlarut-larut dalam keadaan tersebut dan bisa move on. Meski ada taruma tapi harus bisa keluar dari keadaan itu. Semangat untuk kita semua

    ReplyDelete
  6. tulisan yang sangat bagus Mbak

    kita sering cuek akan kenyataan bahwa setiap orang punya luka masa lalu

    yang harus disembuhkan agar bisa pulih dan bersikap positif

    ReplyDelete
  7. Event Ruang Pulih ini ciamik banget ya Mba
    Bisa menjadi sarana refleksi diri kita semua.
    Mantuullll bgt

    ReplyDelete
  8. Tak bisa dipungkiri, kadang memang luka masa lalu bisa membawa diri kita menjadi apa yang ada di hari sekarang. Kadang, proses healing pun akan panjang dan sulit. Seperti saya yang dulu pernah gagal membangun rencana pernikahan, sampai hari ini saya masih sering timbul rasa diri tidak berharga, bahkan merasa seperti pecundang.

    Pada akhirnya, seperti yang kakak bilang, afirmasi positif memang sangat diperlukan. Selain pemikiran positif, perlu juga berdamai dengan diri sendiri. Mencoba menerima diri apa adanya, lalu perlahan mencoba mengubah apa yang masih bisa kita kendalikan.

    ReplyDelete
  9. Aku juga mempunyai sifat gampang marah neh kak, tapi kalau marah bukan banting atau tonjok-tonjok wkwk... aku lebih menghindar kalau marah,,, self healing gitu

    ReplyDelete
  10. Mengendalikan saja kurang ya mbak, kita juga harus berdamai dengan luka dan ketakutan itu. Melawan masa kecil yg tidak menyenangkan kadang memang punya ketakutan sendiri untuk ketika melihat kembali hal itu sekrang. Aku pun masih dalam proses yang masih up and down, afirmasi positif masih perlu latihan nih

    ReplyDelete
  11. Membaca ini jadi bercermin pada kisah sendiri. Jatuh dalam luka, mengendalikan luka, lalu bangkit. Ikhlas dan berdamai salah satu hal yang wajib banget dilakukan. Itu salah dua yang bisa banget buat healing. Ngga mesti self healing keliling dunia dulu, tapi itu hal simple yang ngga sesimple itu.. eh gimana sih..

    ReplyDelete
  12. Luka yang tertanam di masa lalu memang begitu membekas. Saya pun pernah mengalaminya. Dulu, bertahun-tahun, emosi saya itu kurang stabil, hiks..

    Event ruang pulih ini kece sih.. bener-bener bisa sebagai wadah buat kita yang punya luka masa lalu dan ingin bangkit.

    ReplyDelete
  13. ini pelatihan anger management ya.. makasih udah membagikannya di sini.. saya juga tipe pemarah.. dulu kalo marah hobi banting pintu sampe ganggu tetangga.. kebiasaan itu berhenti seiring bertambahnya umur... sekarang masih pemarah sik.. tapi saya meredamnya dengan yoga

    ReplyDelete
  14. Hikss, berasa ditampar nih Mbak.
    Saya juga Ibu yang tidak sabar, kalai lagi marah juga sukanya langsung ke nada do tinggi, tidak jarang juga pake acara banting barang yang ada di depan mata (kecuali piring dan gelas juga) atau banting pintu terus keluar dari kamar biar marah gak menjadi-jadi. Eehh sekarang anak-anak jadi mencontoh, kalau salah satunya ada yang marah suka banting pintu juga, yang lain ada yang kalau marah benar-benar teriak gak jelas, huhuhuh.

    Harus selalu buat afirmasi positif ya tuk diri sendiri biar kita juga bisa kontrol diri dengan baik.

    ReplyDelete
  15. iya mbak
    aku juga belajar ubah kata negatif menjadi kata positif
    bisa membuat kita lebih semangat, percaya diri
    dan yang toxic-toxic itu hilang
    bahkan udah ngerasa cuek aja dengan nyinyiran orang

    ReplyDelete
  16. Luka memamng memberikan rasa sakit yang luar biasa mungkin, tapi jangan sampai kita larut dalam luka itu.. Mungkin hati tidak bisa memaafkan tapi diri harus bangkit dari luka itu dan menjadi lebih baik dari hari kemarin.. Tetap semangat terus

    ReplyDelete
  17. wah, ini perlu dibaca si kk nih. soale dia suka ngomong ke perutku, jgn kyk ummi ya dek, tukang ngambek. wkwk!

    ReplyDelete
  18. Luka masa kecil sering membekas kalo tidak diterapi. Takutnya adalah bisa melukai orang lain, bahkan orang yang kita sayangi. Aku sendiri juga memiliki ibu yang kalo marah itu suka nyubit atau membanting sesuatu. Namun aku memiliki keinginan kuat tidak akan meniru beliau. Aku memaafkan ibuku, dengan cara menjadi ibu yang penyayang dan pemaaf pada anak-anak, Bahkan mau meminta maaf pada mereka bila berbuat salah yang tak disengaja. Jadi orang di lingkungan keluarga dan tetangga mengenal aku sebagai ibu yang nggak pernah marah. SEmangat pulih ya, bersama Ruang pulih yang kayaknya sering mengadakan pelatihan bersama blogger dan penulis

    ReplyDelete
  19. Taglinenya keren, Mengubah Luka Menjadi Performa.
    Kalau semacam jadi bisa nulis puisi atau fiksi karena sedang terluka hati, apa kira-kira termasuk ya?

    Mudah-mudahan banyak para jemaah di barisan yang memiliki luka di masa lalu, bisa meniru cara healing yang positif ini. Aamiin

    ReplyDelete
  20. waktu kecil aku mengalami perlakuan keras dari almarhum bapak dan benar itu membekas sekali. sebenarnya sadar saat habis memarahi anak, saya seperti melihat bapak dulu memarahiku huhu jadi memang perlu menyembuhkan luka batin dulu ya

    ReplyDelete
  21. Sadar sekali bahwa orangtua zaman dulu banyak khilafnya saat mendidik anaknya. Karena orangtua zaman itu memang cenderung "militer" dan main suruh.
    Semoga luka demi luka bisa kita sembuhkan dengan bantuan sang ahlinya dan tak lupa dirawat dari waktu ke waktu dengan lantunan doa.
    Bismillah~

    ReplyDelete
  22. Aku pernah coba menelaah sendiri, apa sifatku yang ga suka anak2, dan ga bisa mengendalikan emosi kalo udh ngajarin mereka itu terkait ama masalahku dulu. Ortuku keras dlm mendidik mba. Dan papa juga kalo berantem Ama mama suka main pukul . Memang sih anak2nya ga pernah dipukul, tapi rasanya aku inget dulu selalu nangis dan ketakutan kalo mereka udh berantem. Dan papa sendiri kalo ngajarin belajar bisa marah sambil mengeluarkan kata2 yg nyakitin.

    Kayaknya itu membentuk polaku sendiri yg kurang sabar mengajari anak dan jadi ga suka Ama anak2. Memang yaaa, luka di masa lalu bisa banget kebawa sampe kita dewasa :(. Bersyukurnya aku punya suami yg sabar dan support. Dia tau aku ga bisa ngajarin anak dan susah untuk dekat, akhirnya anak2 pakai guru private, so setidaknya mereka ga harus trauma kalo diajarin Ama aku. Dukungan kluarga penting sih dalam hal ini. Krn kalo ga, buatku bisa jadi malah semakin parah untuk membenci anak2.

    ReplyDelete
  23. Inner child dan pasangan toxic, dua hal yang mesti disembuhkan dalam sebuah pernikahan. Rata2 keduanya sangat berpengaruh terhadap kehidupan. Kalau nggak diputus rantainya khawatir generasi berikutnya bisa mengikuti

    ReplyDelete
Previous Post Next Post