
"Teman-teman aku mau istirahat dulu ya di luar situ. Lututku nyeri banget," kata saya setelah sekeluar dari ruangan yang memamerkan koleksi gelas minum teh di Keraton. Jam di pergelangan tangan saya menunjukkan angka pukul 10 lewat yang artinya kami sudah berada hampir 2 jam di area Keraton.
Saya kemudian memilih sebuah bangku yang terletak di bawah pohon yang saya temukan begitu keluar dari gerbang. Tampak beberapa wisatawan lain yang juga sedang duduk beristirahat di sana. Sambil memijit kaki yang pegal dan ngilu, saya memperhatikan seorang wanita yang menawarkan kunjungan ke workshop kopi Luwak yang dikelola oleh abdi dalem Keraton kepada salah satu wisatawan. Sayangnya rupanya wisatawan tersebut tidak tertarik dengan penawaran tersebut.
Si ibu rupanya sadar kalau saya memperhatikannya dan akhirnya mendekati saya. "Mbak, mau lihat workshop kopi luwak yang dikelola langsung sama abdi dalem Keraton, nggak?" tanyanya kemudian setelah sebelumnya berbasa-basi terlebih dahulu.
Sebagai pengunjung Keraton, saya merasa hal ini sayang untuk dilewatkan karena kapan lagi kan bisa melihat langsung proses pengolahan kopi luwak yang terkenal kenikmatannya? Saya pun bertanya kepada ke dua teman yang membersamai saya selama berada di Yogyakarta. Keduanya ternyata setuju untuk mengikuti tur singkat ini. Akhirnya tak lama kemudian kami bertiga dipandu oleh wanita tersebut berjalan menuju sebuah pintu yang menuju area perumahan di luar Keraton.
Mencicipi Kopi Luwak di Area Keraton Yogyakarta
Sembari berjalan kaki, ibu ini menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan kopi luwak yang dikelola oleh abdi dalem ini. Mulai dari sumber kopinya yang berasal dari Gunung Merapi dan kopi yang diambil bukan dari luwak yang dipelihara, tentang perumahan di sekitar Keraton yang kalau tidak salah milik Sultan dan warga boleh menempatinya namun tidak boleh meninggikan bangunannya dan berbagai cerita lainnya. Singkat kata, setelah berjalan kurang lebih 5 menit sampailah kami di sebuah rumah yang disebut workshop Kopi Luwak oleh ibu tersebut.
Kopi Luwak sendiri merupakan sebutan untuk biji kopi yang diambil dari kotoran hewan bernama luwak atau sejenis musang. Luwak ini memakan biji kopi yang ada di perkebunan dan mengeluarkannya kembali lewat kotorannya setelah diolah dalam perut. Meski keluar bersama kotoran, biji kopi Luwak ini sebenarnya masih tertutup cangkang luar dan setelah melalui proses pembasuhan barulah kopi sebenarnya dikeluarkan.
Jujur sewaktu mendengar kata workshop, yang ada di pikiran saya adalah
saya bisa melihat langsung proses pemilihan atau pengupasan biji kopi
luwak dari cangkang luarnya oleh para abdi dalem ini. Namun ternyata di workshop ini kami hanya melihat beberapa contoh biji kopi yang masih berbentuk kotoran dan dijemur di bagian depan workshop. Ada 2 karyawan perempuan dan seorang bapak yang kemudian menjelaskan kembali perihal perkebunan kopi yang ada di Merapi dan pengolahan kopi Luwak Merapi.
Nah, setelah itu, kami kemudian ditawari untuk mencoba langsung kopi luwak yang sudah digiling dan diolah dalam mokapot berukuran 150 ml. Kalau menurut saya pribadi rasa kopi Luwak Merapi ini sedikit asam namun clean. Saya sendiri menambahkan sedikit gula ke dalam kopi saya dan rasanya segar dan nikmat sekali. Dan seperti kata ibu pemandu selama perjalanan, kopi Luwak ini aman bagi lambung.
Berbelanja di Malioboro
Usai menunaikan keinginan mengunjungi Keraton Yogyakarta, kami memutuskan kembali ke Malioboro karena Mbak Jati yang sudah dalam perjalanan menuju Yogyakarta dari kediamannya di Solo. Saat itu waktu juga sudah menunjukkan jam makan siang dan akhirnya kami sepakat untuk langsung menuju ke rumah makan dan setelahnya langsung ke Pasar Beringharjo tempat Mbak Jati nanti akan menunggu kami.
Hari sudah lewat tengah hari ketika saya dan kedua teman tiba di Pasar Beringharjo. Setelah celingak celinguk beberapa waktu, akhirnya bertemu jualah saya dengan Mbak Jati dan saya langsung memperkenalkannya pada dua rekan kerja saya. Sesudahnya kami pun langsung masuk ke pasar untuk memborong berbelanja di sana. Saya membeli beberapa daster dan juga batik pasangan untuk dipakai bersama suami sementara 2 teman saya juga membeli baju batik dan juga kain batik untuk dibawa pulang.
Tak puas hanya berbelanja di Beringharjo, perjalanan dilanjutkan ke Teras Malioboro yang hanya beberapa ratus meter jaraknya dari Pasar Beringharjo. Rupanya di sinilah lokasi dipindahnya pasar yang tahun 2023 lalu sempat saya kunjungi. Jika di Pasar Beringharjo menyediakan berbagai macam pilihan batik, maka di Teras Malioboro ini kami berburu suvenir untuk oleh-oleh teman dan keluarga di rumah. Tak lupa juga sebelum pulang kami berpose terlebih dahulu di depan Teras Malioboro yang menyediakan sebuah area foto estetik untuk diabadikan lewat kamera.
Berpose dan Berkebaya di Malioboro
Sebenarnya setelah berbelanja di Pasar Beringharjo saya ingin langsung kembali ke hotel untuk beristirahat. Apalagi badan rasanya sudah pliket sekali setelah seharian berpetualang. Namun ketika saya dan teman-teman sedang duduk di salah satu bangku di Malioboro dan menunggu teman lain yang berbelanja, seorang perempuan menawari kami untuk berfoto mengenakan kebaya.
"Tenang aja, Mbak. Nanti kalau malam bakal dikasih lampu biar fotonya tetap oke," begitu kira-kira rayu perempuan muda tersebut.
Beberapa waktu terakhir, berfoto dengan mengenakan kebaya di sekitar jalan Malioboro sepertinya memang menjadi sebuah trend tersendiri. Bahkan sejak pagi kami berangkat dari hotel sudah banyak wisatawan yang mengenakan kebaya di sepanjang Malioboro. Di sepanjang jalan juga wisatawan bisa dengan mudahnya bertemu dengan orang-orang yang menawarkan jasa foto kebaya ini. Kebanyakan dari mereka adalah marketing yang akan mendapat fee jika berhasil membawa wisatawan untuk berfoto di studia yang mereka tawarkan.
Setelah berdiskusi sebentar, akhirnya kami memutuskan untuk mengambil tawaran berfoto ini. Tak lama kemudia kami pun diantar menuju tempat penyewaan kebaya di salah satu gang atau jalan kecil yang ada di Malioboro. Begitu tiba di studio ini, kami pun langsung diminta masuk ke dalam untuk memilih dan mengenakan kebaya yang sudah disediakan. Di dalam sudah ada seorang wanita yang akan membantu kami dalam mengenakan kebaya dan kain batiknya. Kami sendiri kemudian memilih mengenakan kebaya merah dengan batik hitam sebagai bawahan.
Rintik hujan mewarnai saat kami berjalan menuju depan kantor DPRD yang akan menjadi latar kami berpose. Berhubung hari sudah malam, maka fotografer juga sudah menyiapkan lampu box untuk memotret kami. Tak ketinggalan juga pastinya beberapa properti yang bisa digunakan untuk berfoto. Selain kami, ada juga wisatawan lain yang mengambil lokasi yang sama namun beda fotografer dan studio foto. Seorang gadis muda yang saya tebak adalah mahasiswa juga tampak sibuk live di akun media sosialnya sambil menawarkan jasa fotografer ini kepada viewer-nya. Sebuah cara yang sangat kreatif untuk menambah uang jajan kuliah, kata saya kemudian.

Kami masing-masing mendapat kesempatan berfoto sendiri-sendiri, lalu ada juga sesi foto berempat dan berdua dengan arahan gaya dari fotografer. Untuk bisa berfoto dengan mengenakan kebaya di Malioboro, biaya yang dikeluarkan tergantung pada jumlah orang dalam grup. Seingat saya, untuk foto berempat yang kami pilih biayanya adalah 250 ribu dan akan mendapat 30 file foto secara gratis. Nah, jika ingin mendapat lebih dari 30 foto maka setiap foto akan dikenai 5000 rupiah.
Setelah kurang lebih 1 jam akhirnya sesi foto-foro selesai. Kami pun kembali ke tempat penyewaan kebaya untuk berganti pakaian. Kalau kata ibu yang membantu kami mengenakan kebaya, semua kebaya yang disewakan ini akan langsung dicuci setelah dikenakan. Jadi penyewa tak perlu khawatir karena kebaya yang disewakan bukan bekas dipakai orang.
Sembari menunggu file foto dikirim, saya duduk di salah satu kursi yang ada di studio tersebut. Tak lama, salah satu teman menginformasikan kalau ada 67 yang sudah dijepret oleh fotografer dan menurut mereka semuanya sayang jika tidak disimpan fotonya. Saya setuju saja dengan saran ini yang artinya untuk pembayaran nantinya kami harus menambah kurang lebih 185 ribu rupiah untuk sesi foto kebaya ini dan total pembayaran malam itu adalah Rp. 430.000,- setelah dipotong diskon kolaborator dengan akun Instagram studio foto tersebut.
Pukul 9 malam, kami putuskan mengakhiri perjalanan hari itu dengan berbelanja oleh-oleh bakpia dan makan malam di salah satu warung makan rekomendasi pengemudi bentor yang kaki gunakan. Setelah perut kenyang, kami kembali ke hotel dan Mbak Jati kembali ke Solo dengan kereta. Perjalanan hari itu usai dan besok subuh kami harus check out dari hotel untuk menuju bandara.
Baca Juga
2 Comments
Bagus sekali mbak antung bisa berfoto dengan memakai kebaya. harga segitu lumayan bersaing, mengingat itu tempat wisata. Sebisa mungkin kalau ke suatu daerah memang seru kalau berfoto pakai pakaian tradisionalnya. misal saat ke jogja, foto di malioboro pakai kebaya. atau saat di bali, foto pakai kebaya bali di desa panglipuran atau di depan pura.
ReplyDeleteKebayanya bagus banget mbak naksir deh aku. Pengin banget punya warna hitam. Bahan beludru ya itu? Atau cuma keliatannya saja yah?
ReplyDelete