Pulang ke kotamu
Ada setangkup haru dalam rindu
Penggalan lagu Yogyakarta dari Kla Project ini bisa jadi salah satu alasan saya untuk kembali ke kota yang dulunya dikenal dengan sebutan kota Pelajar ini. Kota yang dulu juga pernah menjadi ibukota negara Indonesia ini seolah memiliki magnetnya tersendiri yang membuat orang-orang selalu ingin kembali ke sana. Pun dengan saya yang dengan mantapnya bertekad untuk bisa mengunjungi Yogyakarta kembali setelah tahun 2023 lalu hanya bisa sehari singgah di sana.
Kereta Malabar yang membawa kami dari Malang menuju stasiun Yogyakarta tiba sekitar pukul 23.00. Setelah menurunkan koper dan barang bawaan lainnya, kami pun langsung ke luar dari kereta. Tak ingin ribet, kami meminta tolong seorang bapak porter untuk membawakan koper kami hingga ke luar stasiun. Tiga puluh ribu uang yang kemudian kami bayarkan kepada bapak porter untuk jasa beliau membawa 3 buah koper berukuran sedang.
Begitu ke luar dari pintu stasiun, kami langsung berjalan menuju hotel kecil di jalan Pasar Kembang yang akan menjadi tempat menginap selama 2 malam ke depan. Hotel ini menjadi pilihan saya karena letaknya sangat dekat dengan stasiun dan menyediakan sarapan di pagi hari. Selain itu pertimbangan kamar yang estetik juga pastinya menjadi pilihan. Dengan harga 350 ribu semalam, mungkin cukup pas dengan lokasinya yang berada dekat dengan Malioboro.
Kami sempat berjalan sebentar menyusuri Malioboro setelah meletakkan koper dan barang bawaan lain di kamar. Suasana di Malioboro di malam hari juga masih cukup ramai. Masih banyak wisatawan seperti kami berjalan menyusuri jalan tersebut. Pada akhirnya, kami memutuskan menjejakkan kaki di warung angkringan dekat stasiun untuk makan malam. Saya memesan mie godog sementara 2 teman saya memesan mie goreng. Tak lupa kami juga memesan segelas minuman jahe yang rasanya sangat nikmat dan menghangatkan tubuh. Setelah perut kenyang, kami kembali ke hotel untuk beristirahat karena besok kami akan memulai perjalanan menyusuri kota Yogyakarta.
Menyusuri Malioboro, Jalan Keramat di Yogyakarta
Jika ada satu hal yang membuat saya kurang puas saat mengunjungi Yogyakarta adalah penerbangan menuju kota Banjarmasin yang hanya ada 2 kali sehari dari Yogyakarta. Hal ini membuat kesempatan saya untuk bisa berlama-lama di Yogyakarta sangatlah kecil. Bayangkan kami tiba pukul 11 malam dan hanya punya waktu 1 hari untuk menjelajah Yogyakarta karena kami memilih penerbangan pagi untuk pulangnya. Bisa ke mana coba dengan waktu yang hanya 1 hari tersebut di Yogyakarta?
Saya sendiri sebenarnya sudah memiliki daftar nama-nama tempat yang ingin dikunjungi saat berada di Yogyakarta. Mulai dari Candi Prambanan, Keraton Yogyakarta, Taman Sari, Pasar Ngasem, Masjid Kauman hingga UGM sudah menjadi dagtar tempat yang ingin saya kunjungi jika berada di Yogyakarta. Mbak Jati, teman dari Solo yang dengan senang hati menemani kami di Yogya juga sudah memberikan berbagai alternatif tempat yang bisa dikunjungi dalam waktu 1 hari tersebut. Tinggal kepandaian kami mengatur waktulah yang akan menentukan tempat mana saja yang berhasil dikunjungi.
Perjalanan wisata kami hari itu dimulai sekitar pukul 8 pagi dengan menyusuri jalan Malioboro yang legendaris. Ceritanya saya ingin mengajak kedua teman saya untuk berkunjung ke pasar yang dulu pernah saya kunjungi saat ke Yogyakarta tahun 2023. Namun entah mengapa sepertinya ada yang berubah dari Malioboro. Ratusan langkah saya berjalan tak kunjung terlihat pasar tersebut. Yang ada hanya deretan toko-toko yang menjual berbagai cendera mata dan yang lainnya. Belakangan baru saya ketahui kalau pasar tersebut sudah dipindah ke dekat Pasar Beringharjo.
Malioboro sendiri merupakan nama jalan legendaris di Yogyakarta yang membentang sepanjang 2 km dari depan stasiun hingga perempatan Alun-alun Yogyakarta. Dulunya di sepanjang jalan ini terdapat banyak pedagang kaki lima yang menawarkan berbagai suvenir khas Yogyakarta. Namun sepertinya pemerintah kota melakukan perubahan dengan memindahkan semua pedagang kaki lima ini dalam satu lokasi yang kini dikenal dengan nama Teras Malioboro. Karena lelah berjalan, akhirnya kami putuskan untuk langsung menuju Keraton Yogyakarta yang memang menjadi tempat impian untuk saya kunjungi. Sayangnya sepanjang perjalanan pagi itu saya malah lupa mengambil foto. Huhuhu.
Mengunjungi Keraton Yogyakarta
Pilihan mengunjungi Keraton Yogyakarta adalah murni pilihan saya. Entah kenapa ya sepertinya perjalanan bersama rekan kerja kali ini lebih banyak saya yang memutuskan lokasi yang ingin dikunjungi. Untungnya kedua teman saya ini tidak protes dan setuju kalau kami hanya akan mengunjungi tempat wisata di sekitaran kota dan tidak memaksakan diri untuk ke tempat wisata yang memerlukan waktu lama untuk dikunjungi.
Awalnya kami berencana menggunakan taksi online untuk menuju Keraton. Namun entah mengapa saya tergoda untuk menggunakan pengemudi bentor yang memang berseliweran di sepanjang Malioboro dan aktif menawarkan bentornya. Setelah beberapa kali mendapat penawaran akhirnya kami memilih seorang bapak untuk mengantar kami ke kawasan keraton. Sayangnya terjadi kesalahpahaman saat negosiasi harga sehingga akhirnya kami putuskan untuk naik 1 bentor bertiga menuju pintu utama Keraton.
Begitu tiba di area Keraton Yogya, kami langsung menuju loket pembelian tiket. Untuk wisatawan domestik, harga tiket dijual sebesar 15 ribu rupiah. Ada beberapa larangan yang harus dipatuhi jika ini memasuki Keraton Yogyakarta ini yakni:
- Dilarang membawa kereta bayi
- Dilarang mengenakan rok atau celana pendek
- Dilarang memakai sandal jepit
- Dilarang mengenakan kacamata gelap
- Dilarang membawa payung
- Dilarang mengenakan batik dengan motif awisan
- Dilarang mengenakan topi
Bagian dalam Keraton Yogyakarta sendiri terbagi atas beberapa bangunan. Berhubung tidak menggunakan guide, saya tidak terlalu tahu tentang nama bangunan yang ada di dalam Keraton ini. Begitu memasuki area dalam Keraton, saya dan pengunjung lainnya disambut dengan pagelaran budaya berupa gamelan dan karawitan. Beberapa pengunjung singgah dan duduk menikmati pagelaran tersebut sementara saya memutuskan melanjutkan langkah menuju area lain.
Masuk sedikit ke dalam, saya menemukan gapura yang kemudian menghubungkan saya pada sebuah bangunan yang memamerkan berbagai barang peninggalan Keraton. Ada yang dipajang di atas meja kaca dan ada juga yang dipajang di dinding yang juga dilindungi kaca. Beberapa turis yang didampingi guide tampak serius mendengarkan penjelasan guide tersebut. Saya sendiri juga menyempatkan diri untuk menyentuh salah satu koleksi pakaian yang dipajang di meja lewat sebuah lubang yang telah disediakan.
Begitu keluar dari bangunan pertama, saya melanjutkan perjalanan ke bangunan berikutnya. Sebelum memasuki ruangan saya di suguhi pemandangan berbagai bendera dan payung? prajurit yang bertugas sesuai dengan pangkat atau acara yang diadakan. Untuk bagian dalam bangunan ke dua ini sendiri terdapat berbagai koleksi barang-barang keraton dan juga diorama pengadilan di masa kemerdekaan dulu. Kami menyempatkan diri berfoto di kursi dan meja pengadilan tersebut dan berakting sebagai hakim.
Area terakhir yang saya kunjungi adalah ruangan yang memamerkan berbagak koleksi gelas minum teh dan juga beberapa diorama. Acara minum teh di Keraton sendiri sepertinya juga mengadopsi dari budaya Belanda yang masuk di masa penjajahan. Nah, setelah keluar dari ruang pajangan koleksi keramik, saya memutuskan untuk beristirahat lutut saya yang selama setahun ini nyeri terasa semakin ngilu.
Saya pun duduk di salah satu kursi di bawah pohon untuk melemaskan kaki. Seorang ibu kemudian menawarkan kepada saya untuk mengunjungi tempat workshop pengolahan kopi luwak di dekat Keraton. Saya menawarkan hal ini kepada kedua teman kerja dan mereka setuju untuk mengunjungi tempat pembuatan kopi ini. Cerita lengkapnya mungkin akan saya ceritakan di postingan selanjutnya yaa.
Makan Siang di Kebon Ndalem Yogyakarta
Setelah mencicipi kopi Luwak di dekat Keraton Jogja, kami memutuskan untuk langsung makan siang. Awalnya kami ingin mampir dulu ke Taman Sari, tapi jujur dengan kondisi kaki yang nyeri saya rasanya tak ingin lagi ke mana-mana. Untungnya 2 teman seperjalanan saya ini setuju saja dengan keinginan saya untuk bisa duduk sambil menikmati makan siang karena memang saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 11 siang.
Tempat makan yang kami kunjungi adalah Kebon Ndalem, sebuah rumah makan yang lokasinya tepat berada di depan Tugu Yogyakarta. Kami memilih mengunjungi tempat ini juga atas rekomendasi Mbak Jati yang ternyata hari itu datangnya lebih siang dari yang direncanakan. Untuk mencapai Kebon Ndalem ini, kami memutuskan menggunakan taksi online.
Sesampai di Kebon Ndalem, kami langsung memilih lantai 2 untuk mengistirahatkan kaki. Di lantai 2 ternyata juga sudah cukup penuh namun kami cukup beruntung karena mendapatkan tempat duduk dekat jendela dan dekat dengan colokan sehingga bisa sekalian men-charge handphone yang baterainya sudah berwarna merah.
Untuk menu makanannya sendiri, saya memesan Sei Ndalem yang merupakan perpaduan antara daging ayam yang diasap dengan tambahan daun singkong dan juga kuah sop buntut. Saya juga kemudian memesan mendoan untuk tambahan makan siang. Salah satu teman memesan Sop Buntut dan teman satu lagi memesan Chicken Cordon Bleu.
Untuk menu yang saya pesan sendiri memiliki rasa yang unik karena ini seperti perpaduan dari menu barat dan timur. Nasi yang disajikan merupakan nasi butter lalu diberi singkong rebus dan pastinya juga sambal korek yang merupakan menu asli Indonesia. Lalu untuk ayam asapnya rasanya ternyata seperti ikan tuna dan sedikit smokey. Sementara untuk kuah sop buntutnya ini jelas bukan untuk dituangkan ke nasi melainkan sebagai penutup makanan. Hehe.
Setelah perut kenyang dan handphone terisi waktunya mengambil foto di spot paling diincar di Kebon Ndalem ini yakni di bagian teras yang langsung berhadapan dengan Tugu Yogyakarta. Seperti dugaan, di bagian luar ini juga sudah banyak pengunjung yang mengambil spot terbaik. Karena spot terbaik sudah diambil oleh sepasang muda-mudi yang sedang menikmati makan siang mereka, maka kami pun bergantian mengambil pose di samping mereka. Yang penting Tugu Yogyakartanya kelihatan walau harus ada tambahan fotobomb dari pengunjung lain. Hehe.
Puas berfoto-foto, akhirnya kami putuskan untuk meninggalkan Kebon Ndalem Resto ini untuk melanjutkan perjalanan ke lokasi selanjutnya yakni Pasar Beringharjo dan bertemu dengan Mbak Jati yang baru tiba dari Solo siang itu.
Baca Juga
3 Comments
Kak, Malioboro ini beneran jantungnya Jogja ya penuh warna, dari batik, kuliner lesehan, hingga seniman jalanan. Seru banget bisa ngerasain suasana malamnya yang hidup! Apalagi letaknya berdampingan sama area Keraton, jadi jadi satu paket wisata budaya yang lengkap.
ReplyDeleteAku suka banget filosofi Malioboro sebagai poros antara Tugu, Keraton, dan Merapi kayaknya nggak cuma jalanan, tapi jalur rasa dan sejarah yang kental. Jalan dari sana ke Keraton juga gampang banget, bisa jalan kaki santai sama keluarga.
ReplyDeleteKak, kunjungan ke Keraton Jogja itu sensasi magis bisa lihat Joglo, balairung, dan warisan budaya Keraton yang hidup sekaligus dibuka sebagai museum. Lengkap dengan pementasan wayang atau gamelan, bikin hati adem dan otak makin 'ngeh' sama kaya tradisi Jawa-nya.
ReplyDelete