Ketika Hipertiroid Ibu Kambuh dan Harus Dirawat di Rumah Sakit

 


Lima tahun lalu, ketika seluruh dunia menjadi karena virus Corona, ibu saya harus dirawat di rumah sakit. Bukan karena Covid namun karena penyakit hipertiroid yang mengakibatkan beliau tidak bisa makan selama berhari-hari. Saya ingat betul hari itu beberapa hari setelah lebaran dan kami harus melarikan ibu ke rumah sakit dengan kondisinya sangat lemah karena tidak ada makanan yang masuk. 

Alhamdulillah, setelah kurang lebih 2 minggu dirawat di salah satu rumah sakit swasta di Banjarmasin, ibu sudah boleh pulang. Namun bukan berarti ibu dinyatakan sembuh karena untuk bisa membuat ibu bisa makan dengan normal lagi juga perlu usaha yang cukup panjang dan ibu juga akhirnya harus mengkonsumsi obat untuk mengontrol kadar tiroid dalam tubuhnya. 

Selama lima tahun, kami semua berpikir kalau penyakit hipertiroid ibu tidak akan kambuh karena ibu saya cukup disiplin ke dokter setiap bulan dan mengkonsumsi obat. Namun siapa sangka di bulan kami lagi-lagi harus membawa ibu ke rumah sakit karena kondisinya yang tiba-tiba drop dan harus dirawat di Rumah Sakit selama beberapa hari. 

Ketika Penyakit Hipertiroid Ibu Kambuh 


Hari itu, satu hari di bulan Juli, kebetulan suami mampir ke rumah ibu saya sekalian membawa Yafiq ke tukang urut langganan di dekat rumah ibu. Nah, ketika Yafiq diurut, suami mendapati ibu terjatuh di dapur rumahnya. Suami saya pun langsung membangunkan ibu saya dan memapah ibu menuju ke tempat tidurnya. Setelah itu, suami saya langsung mengabarkan hal ini kepada saya yang masih berada di kantor. Akhirnya tanpa pikir panjang setelah jam kerja usai, saya menjemput Yumna yang masih mengaji dan membawanya ke rumah ibu saya.

Begitu tiba di rumah, saya lihat ibu sedang berbaring di tempat tidur. Badan beliau panas dan kata ibu kepalanya sangat pusing seolah dunia berputar-putar. Saya pun menghubungi adik perempuan yang sedang dalam perjalanan dari tempat kerjanya di Banjarbaru. Sebelumnya memang saya sudah memberitahu kondisi ibu dan memintanya langsung datang ke rumah ibu kami untuk membawa ibu ke dokter. Nah, begitu adik perempuan saya tiba, kami pun langsung berdiskusi ke dokter mana sebaiknya ibu dibawa untuk mengkonsultasikan kondisi beliau saat itu.

Lepas salat magrib, adik saya membawa ibu dengan mobilnya menuju sebuah klinik di jalan Kinibalu dengan tujuan dokter penyakit dalam. Dengan kursi roda, ibu pun diperiksa dan kami ditanya-tanya sedikit terkait kondisinya. Setahu saya, memang selama satu minggu sebelumnya ibu kerap mengeluh kepala beliau yang sakit dan nyeri lambung yang cukup mengganggu. Ibu juga mengeluh ada sedikit batuk selama beberapa hari sebelumnya. 

Kami juga tentunya menginfokan kepada dokter tersebut terkait penyakit hipertiroid yang diderita ibu saya termasuk juga pengobatan rutin beliau. Berhubung dokter penyakit dalam ini bukan dokter yang biasanya menangani ibu saya, akhirnya dokter hanya memberikan obat batuk dan penurun demam kepada ibu. Sebelum kami meninggalkan ruang praktik, dokter tersebut berpesan kalau misalnya kondisi ibu menurun sebaiknya langsung dibawa ke IGD saja.   

Setelah membayar biaya konsultasi dan menebus obat, kami semua pun kembali ke rumah ibu. Berhubung hari itu adik bungsu saya yang sekarang tinggal bersama ibu dinas malam, akhirnya saya meminta adik perempuan untuk menemani dan menjaga ibu malam itu siapa tahu terjadi sesuatu.

Ibu Dilarikan ke UGD



Keesokan harinya, begitu bangun tidur saya mendapat telepon dari adik perempuan yang tadi malam menginap di rumah ibu. "Kayaknya aku mau bawa Mama ke IGD aja soalnya tadi malam bangun dan tiba-tiba ngesot ke dapur dan pipis di lantai. Ini Mama juga meracau kesakitan melulu," begitu kata adik saya dari speaker handphone. 
 
Jantung saya langsung berdetak cepat mendengar cerita dari adik perempuan saya tersebut. 
 
"Iya, bawa aja Mama ke IGD. Nanti habis apel aku susul ke Rumah Sakit," kata saya kemudian. Setelah panggilan telepon tersebut, saya pun bersiap-siap untuk berangkat ke kantor dan juga menyiapkan anak-anak pergi ke sekolah. Berhubung hari adalah hari Jum'at, saya berangkat lebih pagi dari biasanya karena ada jadwal senam di kantor. 
 
Sesuai dengan janji, setelah apel di kantor usai saya langsung melajukan motor menuju Rumah Sakit Daerah yang biasanya juga menjadi rujukan ibu saya jika berobat. Begitu saya tiba di IGD Rumah Sakit, rupanya ibu sedang akan dirontgen bagian punggungnya. Kata adik saya, sebelumnya juga dilakukan pengambilan darah untuk mengetahui kadar tiroid dalam tubuh ibu saya. Karena kondisi ibu yang masih merintih kesakitan, saya dan adik pun diminta untuk membantu dalam proses rontgen punggung ini. Dan setelah proses rontgen selesai, ibu pun diantar kembali ke IGD sambil menunggu kamar.
 
Sembari menunggu kepastian kamar untuk ibu, saya dan adik pun menunggu ibu di samping tempat tidurnya. Tak lama kemudian salah satu sepupu ibu saya yang juga tetangga kami dan juga adik bungsu ibu datang untuk menjenguk ibu. Saat itu ibu sudah mulai sadar dan masih bisa diajak berkomunikasi. Namun anehnya, beliau tidak mengenal sosok yang menjenguknya tersebut dan ibu hanya bisa merintih setiap beberapa menit sekali. Saya sendiri karena harus menjemput anak-anak akhirnya kembali ke kantor dan akan datang lagi setelah anak-anak dijemput ayahnya.
 
Begitu saya kembali ke Rumah Sakit beberapa jam kemudian, ibu sudah dipindahkan ke ruang rawat inap di lantai 5 Rumah Sakit yang merupakan ruang rawat inap kelas 1 di Rumah Sakit tersebut. Kamar ini sebenarnya masih bergabung dengan kamar sebelahnya yang dipisahkan dengan dinding beton dan kamar mandi bersama. Untungnya tidak ada pasien lain di kamar sebelah jadi bisa dibilang ibu saya hanya sendirian di kamar tersebut. Selain itu, kamar yang kami dapat ini menghadap langsung ke sungai sehingga bisa dibilang mendapat pemandangan terbaik di kota seperti di hotel. Hehe.
 
"Mama tidak bisa makan dan minum. Minuman yang dikasih langsung disembur dan obat yang masuk hanya yang lewat infus dan ditetesin ke mulut setiap beberapa jam sekali waktu mama tidur," begitu kata adik saya ketika saya tiba di kamar tempat ibu dirawat.

"Tadi aku dengar sih Mama kena badai tiroid makanya kondisinya drop lagi," Adik saya berkata lagi. Mendengar penjelasan adik saya itu, saya langsung mencari tahu apa itu badai tiroid. Dari informasi yang saya dapat ini adalah kondisi di mana kadar tiroid dalam tubuh ibu saya terlalu tinggi dan pastinya memberikan efek pada tubuh penderitanya salah satunya adalah hilang kesadaran dan halusinasi. Hmm berarti benar dugaan kami kalau sakit Ibu ini ada hubungannya dengan hipertiroid yang dideritanya.  

Hal ini mengingatkan saya pada cerita Ibu di mana kata beliau dokter yang menangani penyakit hipertiroid ini ini sedang sekolah sehingga Ibu tidak bisa melakukan kontrol secara rutin lagi selama kurang lebih enam bulan terakhir. Ibu juga tidak melakukan cek darah karena kondisi dokter yang sedang sekolah ini. Bisa jadi ini menjadi salah satu penyebab kadar tiroid Ibu tidak terkontrol dengan baik meski ibu sudah rutin minum obat.  

Beberapa menit kemudian, seorang dokter muda datang untuk memeriksa kondisi Ibu dan ketika kami menanyakan dugaan badai tiroid yang dialami Ibu, dokter ini secara tidak langsung membenarkan dugaan yang disebutkan oleh adik saya meski tidak menyebutnya badai tiroid. 

"Nanti kalau ibunya bangun kalau bisa dipegangin ya, takutnya ibunya mau kabur," begitu pesan dokter sebelum pergi meninggalkan kamar.

Tak lama setelah adik saya pulang, salah satu paman dan istrinya datang menjenguk ibu. Pas banget saat itu ibu juga bangun dari tidurnya. Nah, yang membuat saya dan yang lain kaget adalah begitu bangun ibu langsung berusaha untuk turun dari ranjang pasien persis seperti yang disebutkan oleh dokter yang menjenguk ibu sebelumnya. Melihat hal ini kami pun dengan spontan memegangi tubuh ibu dan mencegahnya untuk turun dari tempat tidur. Lalu ketika Ibu sudah sedikit tenang, masing-masing dari kami bertanya apakah ibu mengenal anggota keluarga yang datang lagi-lagi beliau tak mengenal kami semua. 

Keputusan memasang Kateter dan selang NGT

Melihat kondisi Ibu yang tidak mengenali anggota keluarga dan hanya bisa merintih kesakitan pastinya membuat kami semua merasa sedih. Bahkan sempat terpikir juga di benak saya apakah Ibu akan bisa keluar dari Rumah Sakit dengan sehat atau kami harus bersiap-siap untuk kehilangan satu-satunya orang tua yang sekarang dimiliki? Apalagi kondisinya juga ibu tidak bisa makan dan minum. Ah, rasanya kemungkinan sembuh itu kecil sekali. Meski demikian tentunya kami tak boleh hilang harapan. Meski tidak bisa makan dan minum, setidaknya obat masih bisa diberikan lewat infus dan juga obat tetes bisa diberikan ketika ibu tertidur. 
 
Malamnya, salah satu perawat memanggil saya ke bagian perawat jaga. "Bu, berhubung ini ibunya tidak bisa makan ataupun minum, kami perlu persetujuan dari anggota keluarga untuk memasang selang NGT dan kateter untuk ibunya. Silakan dimusyawarahkan dulu dengan anggota keluarga yang lain," begitu kata perawat.
 
Mengetahui hal ini, saya pun langsung menghubungi adik perempuan dan adik-adik saya juga setuju dengan rencana pemasangan selang NGT dan kateter ini. Sebelum proses pemasangan selang NGT dan kateter ini kami sempat minta izin diperlihatkan hasil tes darah yang sudah dilakukan sebelumnya. Perawat pun memperlihatkan lembar hasil tes darah tersebut. Benar saja, kadar tiroid dalam tubuh ibu saya tinggi sekali meski menurut pengakuan Ibu beliau minum obat secara teratur. 


 
"Ya bisa saja sih Mama bilangnya sudah minum obat tapi ternyata nggak diminum. Kan kita juga tidak serumah sama Mama," kata adik saya. Memang setelah menikah, masing-masing dari kami sudah tinggal di rumah sendiri dan Ibu sekarang tinggal berdua saja dengan adik bungsu.
 
"Atau bisa juga karena dokternya sekolah Mama jadi kurang disiplin minum obat. Kan selama enam bulan ini Mama nggak ada kontrol ke dokter," saya menambahkan analisa sementara.
 
Pada akhirnya, kami memutuskan tak memperpanjang perdebatan dan mencari tahu siapa yang salah dalam naiknya kadar tiroid di tubuh Ibu. Sesuai kesepakatan, kami juga setuju agar Ibu dipasang selang NGT dan kateter. Dalam hal ini, tentu saja saya harus menandatangani beberapa berkas terkait persetujuan tindakan kepada pasien. Saya sendiri lagi-lagi harus pulang karena harus ke dokter untuk meminta rujukan terkait nyeri lutut yang saya derita selama setahun terakhir. Ibu sendiri rencananya akan ditemani oleh salah satu saudaranya yang menginap di rumah sakit malam itu.
 
Sayangnya, upaya untuk memasang selang NGT agar ibu bisa mendapat asupan makanan dan obat tersebut gagal total. Hal ini saya ketahui setelah tiba di rumah dan adik saya memberi kabar terbaru perihal kondisi ibu.
 
"Mamanya ngamuk. Sudah dipegangi sama amang dan Om X tapi tetap tidak berhasil masuk selang NGT-nya. Jadi rencananya mau dicoba lagi besok pakai selang yang lebih kecil," begitu kata adik saya di ujung telepon. 
 
Pada akhirnya saya pun malam itu hanya bisa berdoa agar besok hari para perawat bisa memasang selang NGT pada ibu saya dan pengobatan bisa berjalan dengan lebih baik.
 

Ibu terbangun dan ternyata kondisinya membaik 

Esok harinya, setelah saya memeriksakan kaki ke dokter penyakit dalam, saya pun langsung mendatangi ibu di kamar inapnya. Saya sengaja memilih rujukan ke Rumah Sakit yang sama dengan ibu saya agar bisa sekalian menjenguk beliau. Begitu saya tiba di kamar, hanya ada salah satu adik ibu yang kerap saya panggil Acil di kamar. Begitu saya tiba, Acil pun menceritakan kejadian ketika ibu saya gagal dipasang selang NGT tadi malam tentunya dengan versi lebih lengkap.
 
"Itu tiang infus ditendang-tendang sampai yang megangin juga kena tendang. Mamanya sampai disuntik pakai obat penenang supaya bisa tidur," begitu kata Acil saya kala itu.
 
Beberapa menit setelah bercerita, terlihat gerakan dari tempat tidur. Rupanya Ibu sudah terbangun lagi setelah tertidur akibat obat penenang. Berkaca dari kejadian hari sebelumnya, kami pun langsung siaga di samping tempat tidur untuk mencegah ibu berusaha turun dari tempat tidurnya.
 
Di luar dugaan, begitu kami tiba di samping tempat tidur, ibu malah berkata, "Haus, mau minum." Antara percaya dan tidak percaya, saya pun mengambil gelas dan menuangkan air ke dalamnya sementara Acil mengubah posisi ibu dari rebahan jadi duduk. Saya pun mengarahkan gelas tersebut kepada Ibu dan benar saja, Ibu meminum air dari gelas tersebut. Hal yang hari sebelumnya tidak mungkin dilakukan karena air yang diberikan langsung disembur.
 
Ketika selesai minum dokter dan salah satu perawat datang memasuki kamar. Kali ini dokter yang datang berbeda dengan dokter sebelumnya. Tebakan saya dokter yang datang kali ini adalah dokter Spesialis Syaraf yang ingin mengetahui kondisi syaraf Ibu saya. 
 
Berhubung kondisi ibu sudah sadar, Dokter Syaraf ini pun langsung mengajukan beberapa pertanyaan kepada Ibu saya. Dan lagi-lagi kami dibuat kaget karena kali ini ibu benar-benar bisa diajak berkomunikasi dengan benar dan bahkan tertawa. Padahal hari sebelumnya ibu bahkan hanya bisa merintih dan berkata, "Aduh," dan tak mengenali anggota keluarganya sendiri. Ini seperti sebuah kejaiban!
 
Dokter kemudian melakukan beberapa tes salah satunya tes penglihatan dan kami cukup kaget ketika Ibu berkata kalau saat ini pandangan mata beliau kabur dan tak bisa melihat apapun. Namun jika melihat dokter yang sepertinya tak kaget dengan jawaban Ibu, maka saya beranggapan kalau kondisi mata beliau ini hanya sementara. Setelah memeriksa dan memastikan kondisi Ibu saya, Dokter spesialis tersebut pun pergi meninggalkan ruangan.
 
Tak berapa lama, lagi-lagi kami kedatangan tamu. Kali ini yang datang adalah sepupu jauh saya dan kalau tidak salah salah satu tetangga beliau. Dan berbeda dengan tamu hari sebelumnya yang mendapati ibu dalam kondisi tidak mengenali siapapun, kali ini Ibu saya benar-benar tahu siapa yang datang menjenguknya walau pandangan beliau kabur. Lalu ketika ditanya apakah Ibu ingat dengan kejadian malam sebelumnya di mana Ibu mengamuk dan menendang tiang infus ketika akan dipasang selang NGT, Ibu berkata tidak ingat apapun. Ibu bahkan tidak ingat kenapa beliau bisa berada di kamar Rumah Sakit. 
 
Tentunya kami semua sangat bersyukur dengan membaiknya kondisi Ibu ini. Setelah bisa minum dan berkomunikasi dengan semua orang, alhamdulillah Ibu juga mulai bisa makan meski tak banyak. Di hari ke-empat setelah masuk Rumah Sakit, Ibu pun diperbolehkan pulang kembali ke rumah. Di awal-awal kepulangan ibu dari Rumah Sakit, kondisi Ibu sempat drop lagi karena masih kesulitan untuk makan. Untungnya kondisi tersebut bisa diatasi dan hingga saat ini kondisi Ibu sudah membaik dan pastinya masih rutin berobat setiap bulannya.
 
Sebagai anak tentunya saya selalu berharap Ibu bisa tetap menemani kami semua dalam waktu yang lama. Karena pastinya berapapun usia kita, rasanya takkan ada anak yang siap untuk kehilangan orang tuanya. Demikian sedikit cerita saya semoga bermanfaat bagi teman-teman sekalian! 
Baca Juga
Reactions

Post a Comment

0 Comments