Mengenal Ego State dalam Diri Kita

 


Beberapa minggu lalu, saya membaca sebuah novel yang saya pinjam di Perpustakaan Daerah di kota saya. Novel ini bercerita tentang seorang anak yang oleh ayahnya kerap mendapat kekerasan verbal karena nilai sekolahnya yang selalu buruk. Sang ayah merupakan penganut kalau anak haruslah memiliki prestasi yang baik di sekolahnya. Ironisnya lagi, tokoh Razka ini memiliki adik yang nilainya selalu cemerlang dan pada akhirnya selalu dibanding-bandingkan dengan dirinya.

Terlalu sering mendapat perlakuan buruk dari sang ayah rupanya berpengaruh pada emosi dalam diri Razka. Dia tumbuh menjadi sosok yang gampang meledak dan bisa melakukan tindakan intimidatif terhadap mereka yang mengganggunya. Misalnya saat ada yang mengolok-oloknya di sekolah, Razka membalasnya dengan merusak motor temannya. Bahkan Razka juga mengancam gurunya di saat kelakuannya dilaporkan ke pihak sekolah. Bahkan kejadian paling parah terjadi ketika Razka hampir membunuh ayahnya karena perkara motor.

Beruntung Razka memiliki paman yang selalu berusaha untuk meredam emosi Razka dan memupuk kepercayaan dirinya. Atas bantuan sang paman, selepas SMA Razka memutuskan untuk meninggalkan rumah dan bekerja di sebuah perkebunan teh di pulau Jawa. Di sini, Razka mulai bisa menemukan jati dirinya sendiri, tanpa ada tekanan harus menjadi orang yang pintar. Bahkan setelah bertahun-tahun bekerja, Razka bisa membuktikan kalau dirinya bisa sukses dan menjadi sarjana seperti adiknya.

Meski telah sukses saat dewasa, tak bisa dipungkiri, ada bagian dari diri Razka yang masih terluka dan mempengaruhi berbagai tindakan yang dilakukannya. Bagian lain dari dirinya yang serupa bom waktu ini kadang muncul di saat-saat dirinya terdesak. Sayang sekali dalam novel ini tidak dijelaskan proses pemulihan luka batin yang dialami Razka dalam perjalanan hidupnya tersebut. Hanya ada satu momen di mana Razka akhirnya bisa memaafkan dan berdamai dengan ayahnya setelah sekian lama ia membencinya.


Inner Child dan berbagai ego state pada diri kita


Membaca novel di atas ini mau tak mau mengingatkan saya akan bahasan tentang inner child yang beberapa waktu terakhir saya tulis di blog. Inner child seperti yang kita tahu merupakan bagian dari diri seseorang yang merupakan hasil dari pengalaman di masa kecil (Lucas Cappachione). Inner child tak hanya melulu berupa kenangan sedih namun juga bisa berwujud kenangan bahagia yang bisa dipanggil saat kita dewasa.

Saat mengikuti sesi webinar bersama Ruang Pulih dengan tema "Inner Child Menghambat & Menghebatkan Masa Dewasa" dengan narasumber coach Adi W. Gunawan dan Asep Haerul Gani, saya diajak untuk lebih mengenali ego state yang ternyata salah bagiannya adalah innerchild yang ada pada diri kita. Menurut coach Adi W. Gunawan, ego state atau ego personality merupakan bagian dari diri kita yang aktif atau mengendalikan diri kita pada suatu saat tertentu.  

Salah satu contoh sederhana dari ego state adalah saat kita harus menentukan sebuah pilihan. Biasanya di kondisi ini akan muncul beberapa suara di pikiran kita terkait pilihan mana yang lebih baik dari yang lainnya. Apakah harus bangun pagi atau tetap tidur di hari libur? Atau apakah lebih baik makan nasi goreng ketimbang mie goreng saat berada di warung makan favorit. Suara-suara yang hadir dalam menentukan pilihan ini bisa jadi merupakan ego state yang ada dalam diri kita. 

Inner child sendiri merupakan salah satu bagian dari ego state kita. Dalam paparan yang disampaikannya, coach Adi W. Gunawan memperlihatkan video seorang tentara yang menangis seperti anak kecil saat akan disuntik. Adanya kontradiksi antara profesi dan sikap yang diperlihatkannya saat akan disuntik menunjukkan inner child yang ada pada dirinya yang muncul di saat dewasa.   

Manusia sendiri saat lahir memiliki personality yang muncul secara alami. Namun adanya trauma yang terjadi di masa kecil bisa melahirkan bagian lain dari dalam diri yang disebut dengan part. Dan jika part ini diteruskan traumanya maka akan memunculkan kepribadian lain yang disebut alter atau orang dengan split personality atau berkepribadian ganda. Dalam praktiknya sendiri, untuk bisa menyembuhkan mereka yang terluka akibat trauma masa kecil ini, coach Adi W. Gunawan menggunakan teknik yang dapat menemukan akar dari masalah sebenarnya. 


Ego state dalam pernikahan

Tak hanya dalam kehidupan sehari-hari, egostate juga kerap muncul dalam dunia pernikahan. Seperti yang kita tahu, kadang ada bagian dalam diri kita yang muncul dalam berbagai kondisi. Salah satu contoh munculnya egostate dalam pernikahan adalah saat terjadi pertengkaran pada suami istri. Saat pertengkaran terjadi itu bukan lagi pertengkaran antara 2 orang melainkan pertengkaran seseorang dengan bagian dari dalam dirinya dan juga pertengkarannya bagian diri orang lain. 

Setiap orang sendiri memiliki berbagai macam ego state atau topeng dari dirinya yang akan muncul bergantung pada siapa dirinya berhadapan dan juga kondisi yang dialami. Misalnya ketika bertemu dengan orang tua, maka kita akan memasang topeng sebagai anak. Lalu ketika bertemu dengan teman maka topeng yang kita kenakan berupa topeng seorang teman.

Menurut Drs. Asep Haerul Gani, berdasarkan strukturnya, ego state terdiri atas 3 macam yakni ego state parent, ego state adult dan ego state child. Ketiga macam egostate ini ada dalam diri manusia dan bergantian muncul Berikut adalah penjelasan dari ketiga ego state tersebut:

1. Ego state parent

Ego state parent merupakan sikap, tindakan, pikiran dan perasaan yang diambil dari orang tua atau figur orang tua. Ego state parent ini terbagi menjadi 2 yakni nurturing parent dan critical parent. Nurturing parent memiliki ciri-ciri seperti meyakinkan, peduli, menyemangati, mendukung dan memahami anak. Sementara critical parent memiliki ciri-ciri suka menuduh, mempertanyakan moral dan otoriter.

2. Ego state adult 

Ego state adult adalah sikap, tindakan, pikiran dan perasaan yang merupakan tanggapan langsung terhadap kenyataan saat ini. Ego state adult memiliki beberapa ciri seperti tidak menuduh, terbuka, berminat, percaya diri, dan mengacu pada kenyataan.

3. Ego state Child 

Ego state child merupakan sikap, tindakan, pikiran dan perasaan yang merupakan perwujudan dari masa anak-anak atau keputusan anak-anak.Untuk egostate anak-anak ini terbagi menjadi 3 yakni rebellious child, adaptive child dan free child. Rebellious child merupakan sisi anak-anak yang suka melawan dan mengeluh. Sementara adaptive child merupakan sisi kanak-kanak yang penurut dan pasif, sementara free child merupakan sisi kanak-kanak yang memiliki rasa ingin tahu, spontan, energik dan ceria.

 




 

Inner Child sebagai penghambat atau penghebat masa dewasa

Adanya trauma atau bagian diri yang terluka di masa kecil ini ternyata bisa menghambat masa dewasa seseorang. Misalnya, seorang anak yang menyaksikan orang tuanya yang berselingkuh dan bertengkar sehingga turut merasakan penderitaan orang tuanya hingga memunculkan bagian diri yang terluka. Bagian diri yang terluka ini memunculkan pikiran bawah sadar yang berfungsi melindungi diri. Hal inilah yang kemudian membuat anak kecil tersebut di saat dewasa mengalami banyak masalah dalam hubungan percintaan. 

Lalu bagaimana caranya agar inner child yang ada dalam diri kita bisa membantu di masa depan kita? Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah dengan berkomunikasi dengan inner child yang ada pada diri kita dan tentunya juga berusaha memulihkan luka yang terjadi di masa kecil tersebut. Bisa dengan melakukan jurnaling di mana kita menanyai sosok masa kecil kita tentang luka yang dirasakan dan mengajak untuk berdamai dengan luka tersebut. Untuk bisa menyembuhkan luka inner child ini sendiri diperlukan kesadaran dan keinginan dari sosok yang terlula tersebut. Baru jika inner child yang terluka ini sudah sembuh, kita bisa memberdayakan inner child untuk menjadikan diri hebat.

Adapun untuk ego state yang muncul dalam dunia pernikahan, maka untuk mengatasi konflik yang muncul akibat hadirnya ego state ini adalah dengan mengetahui ego state mana yang harus dihadirkan ketika pasangan mengeluarkan salah satu ego statenya. Misal, saat pasangan sedang menghadirkan ego state-nya yang lucu, maka kita juga bisa menghadirkan ego state humoris kita untuk menanggapinya. Dengan memiliki kemampuan untuk menghadirkan berbagai ego state dalam diri ini tentunya akan bisa membantu dalam menghebatkan diri di masa dewasa.

16 Comments

  1. Memang sulit untuk menyembuhkan luka dalam jiwa, apalagi kalau luka itu telah terbentuk sejak lama. Kadang hal-hal yang bersifat traumatik di masa kecil bisa membawa dampak yang cukup besar saat kita dewasa.

    Dulu, saat saya kecil, saya pernah ditinggal di rumah dalam keadaan terkunci saat kondisi mati lampu. Saya menangis dan berteriak histeris sebelum akhirnya orang tua saya kembali.
    Entah kenapa, puluhan tahun berlalu, sampai sekarang saya selalu takut ketika melihat ruang gelap.

    ReplyDelete
  2. Nggak banyak orang yang menyadari akan adanya ego state dalam diri. Kebanyakan merasa nggak ada yang salah dengan dirinya. Merasa diri baik-baik saja.

    Inner child pun begitu. Salah satunya adalah diriku..

    ReplyDelete
  3. Aku juga lagi belajar soal ini mbak, memang pertama yang perlu kita lakukan adalah sadari terlebih dahulu. SADAR bahwa memang ada masalah dalam diri kita. Jika masalahnya adalah karena luka masa lalu, baru kita harus mencari cara untuk menyembuhkannya... gitu, kan ya mbak..

    ReplyDelete
  4. Aku udah pernah ikut workshop untuk innerchild, self healing gitu. Capek banget sebetulnya mbak memaksa untuk kembali mengingat masa lalu yang menyakitkan itu. Tapi kita butuh, supaya bisa kita terima, dan maafkan. Begitu bebas, baru kita benar-benar bisa move on. Percayalah, innerchild ini sungguh mengganggu

    ReplyDelete
  5. Saya pernah dengar tentang inner child tapi baru dengar tentang ego state ini. Makasih, Mbak ini infonya bagus buat update ilmu lagi. Belajar mengenali diri sendiri lagi..

    ReplyDelete
  6. Ternyata banyak bagian dalam diri kita yang terus bertarung dalam menyikapi suatu fakta tertentu, ya. Butuh kebijakan ego state adult untuk memilih mana yang paling tepat

    ReplyDelete
  7. Wah, ternyata ada solusi yg jitu, ya
    Yaitu berkomunikasi dengan inner child yang ada pada diri kita dan tentunya juga berusaha memulihkan luka yang terjadi di masa kecil tersebut
    Terima kasih mba

    ReplyDelete
  8. Oh keren sekali Tulisan ini,
    Berarti Inner Child ini sebenarnya tidak melulu berdampak buruk ya 😎

    ReplyDelete
  9. Nah itu dia, terkadang saat ingin melakukan itu sudah sadar tapi entah kenapa tetap saja dilakukan terus menerus setiap harinya.. Walaupun sudah berubah pun masih kembali lagi ke hal itu.. Bingung juga pada diri sendiri ini

    ReplyDelete
  10. Ego State? Hmmm saya malah baru pertama kali dengan istilah ini.

    Tapi memang benar sih perlunya pemahaman dan sosialisasi tentang perkembangan jiwa manusia itu penting dilakukan.

    Apalagi dengan sosialisasi perihal Ego State, ini penting dilakukan di lingkungan masyarakat, agar nantinya tidak banyak anak yang terjebak oleh mimpi orang tuanya

    ReplyDelete
  11. Bahsan seputar tema innerchild ini menarik juga ya. Saya juga pernah punya teman yang sikapnya seperti Razka. dan setelah ditelisik ulang ternyata dia punya pengalaman yang kurang menyenangkan seputar pengasuhan oleh kedua orantuanya

    ReplyDelete
  12. setuju banget Mbak

    saya pernah mengalami depresi berat, tiba2 terdengar lagu2 Natal

    menurut psikolog karena otak mencari keseimbangan, peristiwa indah di masa kecil muncul tanpa kita sadari

    ReplyDelete
  13. ah iya, kadang klo bisa disikapi dengan baik, inner child ini tak selamanya buruk ya mbak

    ReplyDelete
  14. Sebenernya ego state ini bisa muncul kalau kena trigger kah?
    Aku merasa gak ada orangtua yang gak punya inner child.
    Tapi pernah melihat salah satu therapy teman, mengatasinya adalah membiarkan sang inner child bermain dengan masa-masa itu.
    ((mungkin seperti mengobrol dengan diri sendiri yaa..))

    Jadi mengakui bahwa kita pernah melewati masa-masa sulit itu dan hebat!
    Kita bisa sampai ke titik yang sekarang ini.

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya. kayak kasus tentara itu kan dia karena takut jarum suntik makanya egostate anak-anaknya keluar. iya, mbak salah satu terapinya itu semacam berdialog lagi dengan masa kecil kita

      Delete
  15. masa saya kecil juga ngalamin masa nggak enak kak, dari SMP dan SMA ngalamin masa yang harus berjuang untuk terus lanjut sekolah. Berjalan sampai merantau ke luar. Kyaaa ... dari hal tersebut saya jadi ingin kehidupan saya jadi lebih baik pokoknya nanti kalo punya anak.

    ReplyDelete
Previous Post Next Post